Kamis, 19 Juni 2014

Ruangan itu bernama hati

Aku memasuki ruangan itu. masih sama seperti setahun lalu, agak sedikit berantakan dan tak terawat. Harusnya pemiliknya ada disini sekarang. Tapi entah kenapa dia tak menapakkan diri. Mungkin sakit atau sedang istirahat.
Di pojok ruangan aku masih melihat benda itu, benda besar yang seperti selalu memenuhi ruangan ini. Sama seperti setahun yang lalu. Sepertinya benda itu memang sudah terlalu lama berada diruangan ini. Tapi aku tak tahu kenapa si pemilik ruangan ini enggan membuang atau menyingkirkan benda itu dari sini.
Sudah lama aku menyayangkan kenapa benda ini selalu memenuhi ruangan ini. Sudah lama pula aku ingin membuang benda ini. Tapi selalu aku urungkan karena pemilik ruangan ini selalu histeris ketika aku mencoba membuang benda tersebut.
Hari ini aku putuskan untuk menyingkirkan benda itu. Hari ini aku harus berhasil. Tapi bukan membuangnya. Aku berpikir jika tersebut tak bisa ku buang, mungkin bisa aku simpan di tempat yang mungkin tidak terlihat. Agar ruangan ini tidak penuh seperti sekarang.
Aku ambil benda itu, mencoba memperbaikinya, karena sudah tidak karuan wujudnya. Aku cuci agar bersih, aku mencoba mencari tempat agar benda inibisa aku sembunyikan rapih. Aku memutuskan menyimpannya di dalam sebuah kotak. Kan meletakkan di tempat yang tidak bisa dilihat orang lain.
Sekarang lihatlah lah, tempat ini memiliki banyak ruang. Hingga orang akan bisa masuk dengan leluasa, tidak seperti tadi yang kelihatan penuh. Ruangan yang bernama hati sekarang tidak dipenuhi benda besar yang sering aku sebut kenangan. Kini ruangan itu terlihat luas, punya banyak tempat untuk meletakkan kenangan kenangan baru.

***
Harwedi,

Gedung GPPS TVRI, 19 Juli 2014

Rabu, 18 Juni 2014

Senyum Maris


Malam itu kami sekeluarga sedang bersiap untuk sebuah pertemuan penting. Pak Wijaya dan keluarganya sudah menunggu kami direstoran ternama di kota kami. Aku,mas burhan, ayah dan ibu, kami akhirnya sampai di restoran yang dipilih oleh keluarga pak Wijaya.
“ Pak Wisnu, selamat datang? Bagaimana kabar petanian yang di ungaran?” Sambut Pak wijaya.
“ Sangat baik Pak.” Jawab Ayah datar.
Selain Pak wijaya ada ibu WIjaya dan anak semata wayangnya, Maris. Iya kami menghadiri pertemuan ini untuk membicarakan pertungaan antara keluargaku dan keluarga Pak wijaya.
“ Maris, kamu cantik sekali nduk .” Puji ibuku.
Hari ini maris mengenakan gaun hijau selutut, rambutnya digerai serta syal warna putih yang membuat maris kelihatan sangat anggun.
Aku sudah menjalin hubungan dengan maris selama 2 tahun ini. Kami saling menyanyangi satu sama lain. Maris adalah satu satunya wanita yang kini selalu menjadi mimpi dalam tidurku. Dan aku sangat menyayanginya. Begitupun maris.
Maris masih memasang wajah sendu saat ini. Padahal aku ingin sekali melihat senyumnya seperti biasa. Aku ingin mendekatinya, dan mengatakan. “ Sabar lah saying, tersenyumlah untuk kami”
“ Maris, bagaimana menurutmu tentang mas burhan nduk ? dia samgat gugup sekali saat menuju kemari.” Sapa ayah kepada maris.
“ Mas burhan bagus Pak Dhe.” Jawab maris sambil sedikiit tersenyum.

pertemuan kali ini memang membicarakan rencana pertunangan keluarga kami dengan keluarga maris. Tapi bukan aku dan maris. Melainkan Mas burhan dan maris. Itulah sebabnya senyum maris dipaksakan.

NB : Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Rabu, 11 Juni 2014

Sederhanakan Rima

Malam itu aku ada undangan pernikahan dari sepupuku yang usianya 4tahun di atasku. Aku tidak terlalu memikirkan akan memakai gaun apa ke pesta pernaikahan saudaraku itu. Justru yang ribet adalah mamah. Beliau berulang kali menggledah lemari untuk menemukan gaun yang pas untukku.

“ Rim, bukannya danu gak suka kamu pakai gaun panjang ya?” Mamah tiba tiba muncul di balik tunpukan baju.
“ Mah, rima sama danu kan udah putus. Kenapa harus nurutin selera si danu sih.” Jawabku kesal.“ Maaf, mamah masih kebawa suasana. Ini ada gaun lama mamah. Coba deh kamu pake. Siapa tau cocok.” Aku menuruti perintah mamah memakai gaun beliau saat beliau masih muda, dan ternyata.. taraa.. Gaun mamah sangat bagus di badanku.
“ Mah liat deh, bagus kan?” Aku menujukkannya dengan bangga.
“ Iya sayang, kamu pake ini aja ya.” Puji Mamah.
Aku siap siap untuk berangkat ke pesta pernikahan saudaraku. Memakai terusan yang dipilikan mamah, berdandan sedikit agar tidak terlalu mecolok dan memakai flat shoes yang sudah lama aku ingin pakai.
“ Liat deh anak mamah, cantik sekali. Kenapa danu dulu gak pernah ngebolehin kamu berdandan sederhana dan anggun seperti ini? Semua harus sesuai dengan keinginannya.”
“ Yasudah lah mah, itu juga sudah berlalu kan. Sekarang Rima dan danu kan udah gak ada hubungan lagi. Rima bisa memakai pakaian apapun yang rima inginkan. Nggak seperti dulu yang harus selalu nurutin kemauan danu. Rima berangkat bareng mba sari ya mah, mba sarinya udah di depan nih.” Pamitku sambil cium tangan mamah.“ Ati- ati sayang, semoga kamu nemu yang lebih baik dari danu ya.” Goda mamah.

NB : Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku


Harusnya kau tau Tama



Malam itu seperti malam biasanya, langit begitu ramah kepada tantri.
“ Centing ...” Ponsel tantri berbunyi.
Muncul Nama Pratama di atas layar.
“ Tantri, boleh aku kerumahmu? Aku sedang bete. Boleh ya?” 
“Silahkan tama.” Jawab tantri singkat.
Setengah jam kemudian terdengar deruman motor yang dikenal tantri. Tantri segera berlari menuju halaman depan dan membukakan pagar. Mempersilahkan tama duduk di teras depan.
“Kamu kenapa?” tanya tantri. 
“ Aku sedang tidak tau apa yang harus aku lakukan tan, aku sudah mencoba berbagai cara untuk menghindari asih. Tapi entah angin apa yang selalu membawa asih kembali padaku. Kamu ingat kan, 2 bulan yang lalu asih mengatakan kalau dia memang lebih memilih tunangannya daripada aku? Kenpa sekarang tiba tiba asih datang lagi? Seperti membawa kenangan kita setahunyang lalu tantri.” Jelas tama dengan tatapan kosong. 
“ Lalu apa yang kau katakan kepada asih? Kau memberinya kesempatan lagi tama? Apa kau gila. Dia sudah bertunangan, ingat itu!” Gertak tantri. 
“ Entah tantri, aku hanya ingin kau mendengarkan ceritaku kali ini. Jangan hakimi aku akan semua keputusanku.Aku memang memutuskan menerimanya kembali. Tapi tolong, jangan hakimi aku kali ini!” Jawab tama lemas. 
“ Terserah kamu lah tama, ini hidupmu dan kamu yang berhak menentukannya. Jangan pernah menyesalinya suatu saat nanti. Sebentar aku ambilkan minum biar kamu tenang.”
Tantri masuk rumah dengan menahan airmata yang sudah meruncing dipelupuk matanya. Sesampainya di dapur tantri tak kuasa menahan tangisnya. Dia harus menahannya. Jangan sampai tama mengetahui kalau dia menangis.
“ Andai kau tau tama, bisakah kau lihat sedikit diriku. Aku yang selalu merindu, selalu menunggu dan selalu sakit ketika kau menyebut nama asih. Harusnya kau tau itu tama”.



NB :Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program dari di Facebook dan Twitter