Rabu, 20 Agustus 2014

Usang yang berkesan

“ Aku ke kosan sekarang ya, kita makan diluar hari ini. Aku bosen makan sendiri terus. Kamu pulang jam berapa?”“ Aku pulang setelah magrib mas, mas jemput aku ditempat biasa. Kita mau makan dimana?”“ Terserah kamu, mau makan dimana yang penting ada yang aku ajak ngobrol.”“ Oke mas, see you ya! Aku sayang kamu :*”
Itu percakapan? Bukan, itu hanya penggalan chat bbm ku dengan mas helmi setahun silam. Masih aku simpan, dan aku buka ketika aku merindukannya.
“ Naura, boleh aku bicara empat mata denganmu besok? Aku ingin mengatakan sesuatu naura. Aku mohon, luangkan waktumu sebentar untukku.”“ Mas, mau bicara apa lagi. Bukannya kita sudah berakhir? Aku tak ingin ada yang salah paham ketika mas menemuiku seperti dulu. Maaf mas, naura tidak bisa.”
Itu percakapan terakhir kami di bbm. Sejak saat itu aku dan mas helmi tak pernah lagi berkomunikasi lewat masenger apapun, apalagi bertemu secara langsung.
Tak pernah ada niatan sedikitpun bagiku untuk kembali pada maas helmi. Walaupun sampai sekarang aku masih sendiri dan masih ada sedikit rasa yang tersisa, tak ada pikiran untuk menjalin kembali hubungan dengan mas helmi.

Bagiku sekarang mas helmi hanya penggalan kisah lama, yang bisa aku kenang. Yang tak mungkin terhapuskan. Walauopun usang, tapi tetap berkesan. Terimakasih kenangan.

Rabu, 23 Juli 2014

"Ayah"


“ Danur, ayo cepet ayah sudah menunggu di depan.” Teriak Ibu dari luar.
Aku bergegas turun, mencium tangan dan pipi ibu kemudian segera menghampiri ayah.
“ Danur, hari ini kamu pulang jam berapa? Biar ayah jemputnya gak telat.”  Tanya Ayah. 
“ Seperti biasa yah, jam 5 sore. Danur ada pelatihan PMR di sekolah.” 
“ Yasudah, ayo cepet naik. Nanti kamu ketinggalan”.
Setengah jam kemudian aku sudah sampai di halaman sekolah. Aku berpamitan pada ayah, mencium tangannya seperti biasa.
“ Assalamu’alaikum yah. Danur masuk dulu. Ayah hati hati ya!” kataku sambil berlari masuk pagar sekolah.
Ternyata sepulang sekolah tidak ada pelatihan PMR seperti biasa, pelatihku sedang sakit. Terpaksa aku menunggu ayah sampai jam 5, padahal sekarang masih jam 3 sore.
“ Danur kita mau ngerjain tugas kelompok yang kemarin di rumahku, mau ikut?” Tanya Siska teman sekelasku. 
“ Yah, kenapa mendadak?” 
“ Maaf, hari ini pelatih basketnya juga lagi ada urusan. Jadi latihan basket buat hari ini ditunda besok. Ayo ikut aja.” Bujuk siska. 
“ Iya deh aku ikut aja.”
Aku mengikuti mereka ke rumah siska.

Jam dinding sudah menujukkan pukul 6 petang, aku berniat berpamitan dengan siska. Sudah hampir malam aku harus pulang. Tapi aku lupa sesuatu, aku lupa memberi tau ayah kalau aku ke rumah siska hari ini. Tapi, mungkin ayah langsung pulang karena aku gak da di sekolah.
“ Assalamu’alaikum ibu, danur pulang” , Sapa ku sambil mencium tangan ibu. 
“ Wa’alaikumsalam, danur ayah kemana?” Tanya ibu kebingungan. 
“ Lho bukannya ayah udah pulang bu?”“ Belum nak, ayah belum pulang. Coba danur hubungi     ayah.” Ibu mulai cemas. 
“ Ibu, tadi danur ke rumahnya siska. Karena latihan PMR nya ditiadakan. Danur lupa ngasih tau    ayah kalo danur ke rumah siska bu. Maafin danur bu.” Aku mencoba menceritakannya pada    ibu. 
“ Yasudah, danur sekarang masuk. Mandi dulu sana. Biar ibu yang nunggu ayah disini. Makan      malam danur di meja makan ya nak.”
Sudah jam 7 malam, tapi ayah belum pulang. Ayah juga belum memberi kabar apapun kepada kami. Ibu semakin khawatir.
“ Assalamu’alaikum bu, ibu ngapain didepan rumah begini. Nanti ibu sakit. Bu, danur sudah pulang? Tadi ayah nunggu sampai magrib disekolah tapi dia gak keluar keluar. Ayah juga udah nanya satpam, katanya PMR gak ada latihan. Lalu ayah keliling sekolah, buat nyari danur. Ayah khawatir bu.” Jelas ayah, yang masih sangat khawatir kepadaku.“ Alhamdulillah ayah gakpapa kan? Danur didalam yah, dia tadi pulang naik angkot sendiri. Dari rumah siska” Ibu mencoba menangkan ayah.
Aku yang mendengar ada suara dari luar rumah segera keluar. Melihata ayah dengan wajah capek dan kuyunya, aku berlari memeluk ayah.
“ Ayah, Danur minta maaf ya yah. Danur gak ngasih kabar kalau danar mau ke rumah siska. Maafin danur ya ayah, sudah membuat ayah khawatir dan menunggu lama.” 
“ Kamu gakpapa kan nak? Gak ada kejadian apa apa kan tadi?” Ayah masih sangat khawatir.“ Alhamdulillah danur gakpapa yah, Danur baik baik saja. Danur nyesel gak ngasih ayah kabar, danur minta maaf yah.” Aku masih menjelaskan agar ayah mau memafkanku. 
“ Ayah gak marah danur, ayah khawatir danur kenapa-napa. Nanti kan ayah sama ibu yang repot. Tapi karena danur sudah dirumah, sehat, ayah bersykur. Ayah gak marah kok nak.” Kata ayah yang masih memelukku dan mencoba menenangkanku.“ Ayah, mandi dulu. Lalu makan, nanti makanannya dingin. Kita lanjut saja ngobrolnya di dalam ya.”  Potong ibu. 
“ Ayo masuk nak, lain kali kamu telepon ayah ya kalau sedang dirumah teman.”  Nasehat ayah sembari beliau memeluk aku dan ibu.
****

Harwedi,

Palmerah, 23 Juli 2014

Maaf, aku membutuhkanmu

Sinta memandangi foto Danar dan dia saat mereka wisuda dan mendapat gelar sarjana, hampir 1 tahun yang lalu. Semua kenangan yang ada di kamar sinta itu hanya membuat dia semakin tersiksa. Sinta meraih ponselnya, mencoba menekan speed dial yang dia assign khusus untuk danar.

" Tut...tut..tut.... Hallo" Suara menyahut dari telpon seberang.
" Danar, aku.. aku " Sinta tak sanggup melanjutkan perkataanya.
" Aku sedang sibuk sinta, bisakah kamu berhenti bermain main?.. Tut..tut.."

danar memutus teleponnya, dan ini meng bukan yang pertama bagi sinta. tapi kali ini keadaannya berbeda. sinta sangat membutuhkan danar ada di sampingnya. Saat ini sinta tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Yang sinta tahu, sekarang ada banyak orang sedang mengunjungi rumah sinta. ada beberapa lelaki kekar didepan, yang membuat sinta takut keluar. Mereka menempelkan kertas yang bertuliskan "Rumah ini disegel" ke seluruh penjuru rumah dan perabotan yang lain. saat ini sinta hanya bersembunyi di kamar. Mencoba menghubungi danar lagi.

" Hallo sinta, bisakah kau serius sedikit. aku sedang sibuk." Kata danar ketus.
" Danar.. Tolong aku, Papa.. Papa sudah dipanggil Tuhan danar... Aku membutuhkan mu sekarang danar" kata sinta yang masih gemetar ketakutan.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Kamis, 19 Juni 2014

Ruangan itu bernama hati

Aku memasuki ruangan itu. masih sama seperti setahun lalu, agak sedikit berantakan dan tak terawat. Harusnya pemiliknya ada disini sekarang. Tapi entah kenapa dia tak menapakkan diri. Mungkin sakit atau sedang istirahat.
Di pojok ruangan aku masih melihat benda itu, benda besar yang seperti selalu memenuhi ruangan ini. Sama seperti setahun yang lalu. Sepertinya benda itu memang sudah terlalu lama berada diruangan ini. Tapi aku tak tahu kenapa si pemilik ruangan ini enggan membuang atau menyingkirkan benda itu dari sini.
Sudah lama aku menyayangkan kenapa benda ini selalu memenuhi ruangan ini. Sudah lama pula aku ingin membuang benda ini. Tapi selalu aku urungkan karena pemilik ruangan ini selalu histeris ketika aku mencoba membuang benda tersebut.
Hari ini aku putuskan untuk menyingkirkan benda itu. Hari ini aku harus berhasil. Tapi bukan membuangnya. Aku berpikir jika tersebut tak bisa ku buang, mungkin bisa aku simpan di tempat yang mungkin tidak terlihat. Agar ruangan ini tidak penuh seperti sekarang.
Aku ambil benda itu, mencoba memperbaikinya, karena sudah tidak karuan wujudnya. Aku cuci agar bersih, aku mencoba mencari tempat agar benda inibisa aku sembunyikan rapih. Aku memutuskan menyimpannya di dalam sebuah kotak. Kan meletakkan di tempat yang tidak bisa dilihat orang lain.
Sekarang lihatlah lah, tempat ini memiliki banyak ruang. Hingga orang akan bisa masuk dengan leluasa, tidak seperti tadi yang kelihatan penuh. Ruangan yang bernama hati sekarang tidak dipenuhi benda besar yang sering aku sebut kenangan. Kini ruangan itu terlihat luas, punya banyak tempat untuk meletakkan kenangan kenangan baru.

***
Harwedi,

Gedung GPPS TVRI, 19 Juli 2014

Rabu, 18 Juni 2014

Senyum Maris


Malam itu kami sekeluarga sedang bersiap untuk sebuah pertemuan penting. Pak Wijaya dan keluarganya sudah menunggu kami direstoran ternama di kota kami. Aku,mas burhan, ayah dan ibu, kami akhirnya sampai di restoran yang dipilih oleh keluarga pak Wijaya.
“ Pak Wisnu, selamat datang? Bagaimana kabar petanian yang di ungaran?” Sambut Pak wijaya.
“ Sangat baik Pak.” Jawab Ayah datar.
Selain Pak wijaya ada ibu WIjaya dan anak semata wayangnya, Maris. Iya kami menghadiri pertemuan ini untuk membicarakan pertungaan antara keluargaku dan keluarga Pak wijaya.
“ Maris, kamu cantik sekali nduk .” Puji ibuku.
Hari ini maris mengenakan gaun hijau selutut, rambutnya digerai serta syal warna putih yang membuat maris kelihatan sangat anggun.
Aku sudah menjalin hubungan dengan maris selama 2 tahun ini. Kami saling menyanyangi satu sama lain. Maris adalah satu satunya wanita yang kini selalu menjadi mimpi dalam tidurku. Dan aku sangat menyayanginya. Begitupun maris.
Maris masih memasang wajah sendu saat ini. Padahal aku ingin sekali melihat senyumnya seperti biasa. Aku ingin mendekatinya, dan mengatakan. “ Sabar lah saying, tersenyumlah untuk kami”
“ Maris, bagaimana menurutmu tentang mas burhan nduk ? dia samgat gugup sekali saat menuju kemari.” Sapa ayah kepada maris.
“ Mas burhan bagus Pak Dhe.” Jawab maris sambil sedikiit tersenyum.

pertemuan kali ini memang membicarakan rencana pertunangan keluarga kami dengan keluarga maris. Tapi bukan aku dan maris. Melainkan Mas burhan dan maris. Itulah sebabnya senyum maris dipaksakan.

NB : Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Rabu, 11 Juni 2014

Sederhanakan Rima

Malam itu aku ada undangan pernikahan dari sepupuku yang usianya 4tahun di atasku. Aku tidak terlalu memikirkan akan memakai gaun apa ke pesta pernaikahan saudaraku itu. Justru yang ribet adalah mamah. Beliau berulang kali menggledah lemari untuk menemukan gaun yang pas untukku.

“ Rim, bukannya danu gak suka kamu pakai gaun panjang ya?” Mamah tiba tiba muncul di balik tunpukan baju.
“ Mah, rima sama danu kan udah putus. Kenapa harus nurutin selera si danu sih.” Jawabku kesal.“ Maaf, mamah masih kebawa suasana. Ini ada gaun lama mamah. Coba deh kamu pake. Siapa tau cocok.” Aku menuruti perintah mamah memakai gaun beliau saat beliau masih muda, dan ternyata.. taraa.. Gaun mamah sangat bagus di badanku.
“ Mah liat deh, bagus kan?” Aku menujukkannya dengan bangga.
“ Iya sayang, kamu pake ini aja ya.” Puji Mamah.
Aku siap siap untuk berangkat ke pesta pernikahan saudaraku. Memakai terusan yang dipilikan mamah, berdandan sedikit agar tidak terlalu mecolok dan memakai flat shoes yang sudah lama aku ingin pakai.
“ Liat deh anak mamah, cantik sekali. Kenapa danu dulu gak pernah ngebolehin kamu berdandan sederhana dan anggun seperti ini? Semua harus sesuai dengan keinginannya.”
“ Yasudah lah mah, itu juga sudah berlalu kan. Sekarang Rima dan danu kan udah gak ada hubungan lagi. Rima bisa memakai pakaian apapun yang rima inginkan. Nggak seperti dulu yang harus selalu nurutin kemauan danu. Rima berangkat bareng mba sari ya mah, mba sarinya udah di depan nih.” Pamitku sambil cium tangan mamah.“ Ati- ati sayang, semoga kamu nemu yang lebih baik dari danu ya.” Goda mamah.

NB : Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku


Harusnya kau tau Tama



Malam itu seperti malam biasanya, langit begitu ramah kepada tantri.
“ Centing ...” Ponsel tantri berbunyi.
Muncul Nama Pratama di atas layar.
“ Tantri, boleh aku kerumahmu? Aku sedang bete. Boleh ya?” 
“Silahkan tama.” Jawab tantri singkat.
Setengah jam kemudian terdengar deruman motor yang dikenal tantri. Tantri segera berlari menuju halaman depan dan membukakan pagar. Mempersilahkan tama duduk di teras depan.
“Kamu kenapa?” tanya tantri. 
“ Aku sedang tidak tau apa yang harus aku lakukan tan, aku sudah mencoba berbagai cara untuk menghindari asih. Tapi entah angin apa yang selalu membawa asih kembali padaku. Kamu ingat kan, 2 bulan yang lalu asih mengatakan kalau dia memang lebih memilih tunangannya daripada aku? Kenpa sekarang tiba tiba asih datang lagi? Seperti membawa kenangan kita setahunyang lalu tantri.” Jelas tama dengan tatapan kosong. 
“ Lalu apa yang kau katakan kepada asih? Kau memberinya kesempatan lagi tama? Apa kau gila. Dia sudah bertunangan, ingat itu!” Gertak tantri. 
“ Entah tantri, aku hanya ingin kau mendengarkan ceritaku kali ini. Jangan hakimi aku akan semua keputusanku.Aku memang memutuskan menerimanya kembali. Tapi tolong, jangan hakimi aku kali ini!” Jawab tama lemas. 
“ Terserah kamu lah tama, ini hidupmu dan kamu yang berhak menentukannya. Jangan pernah menyesalinya suatu saat nanti. Sebentar aku ambilkan minum biar kamu tenang.”
Tantri masuk rumah dengan menahan airmata yang sudah meruncing dipelupuk matanya. Sesampainya di dapur tantri tak kuasa menahan tangisnya. Dia harus menahannya. Jangan sampai tama mengetahui kalau dia menangis.
“ Andai kau tau tama, bisakah kau lihat sedikit diriku. Aku yang selalu merindu, selalu menunggu dan selalu sakit ketika kau menyebut nama asih. Harusnya kau tau itu tama”.



NB :Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program dari di Facebook dan Twitter